Hubungan manusia
Baru-baru sedang ramai doa yang melangit tentang kabar seorang anak pejabat yang meninggal tenggelam. Jujur, aku tidak begitu berani untuk mengikuti, meskipun simpati dan empati akan selalu tercurahkan untuk kisah kehilangan yang begitu menyedihkan ini. Sepahitnya-pahitnya kehilangan adalah kehilangan disertai ketidakpastian. Lebih menyedihkan dari itu, kehilangan tanpa aba-aba, tanpa kalimat perpisahan, tanpa pelukan hangat, tanpa raga yang bisa saling bertatap muka. Hilang tak tersisa. Kisah ini sama halnya cerita di Novel favorite saya,” Laut Bercerita”. Laut namanya, seorang pemuda yang begitu dicintai keluarganya. Mencintai buku-buku perjuangan, Pram pada khususnya. Yang dikisahkan hilang, ditenggelamkan bersama dengan pikiran-pikirannya yang hendak dibungkamkan. Kehilangan yang begitu mendalam untuk keluarganya. Anak pertama harapan orang tua, kakak tercinta untuk adiknya. Kalau diingat-ingat buku ini membuatku menangis terus menerus disetiap halamannya. Dari buku ini juga aku belajar tentang perasaan cinta orang tua pada anaknya. Dan pun harus berulang kali iba, karena di luar sana, lebih banyak lagi sosok anak yang tidak merasakan cinta yang sama dari orang tuanya. Betapa orang tua bukanlah tempat pulang ternyaman untuk mereka. Dari kisah ini saya belajar bersyukur karena telah dicintai oleh kedua orang tua saya, tentu saja dengan cara mereka yang terkadang membuat saya berbunga-bunga, lalu besoknya menangis kecewa. Tapi bukankah begitulah sejatinya manusia? Berharap padanya hanya akan mendapatkan kecewa. Tidak terkecuali, orang tua, juga keluarga. Padahal ini barulah kisah anak dalam satu keluarga. Pantas saja menikah selalu ditekankan tentang menikahi dua keluarga, sepaket dengan orang tuanya, adiknya, kakaknya bahkan sampai pada saudara-saudara jauhnya. Meski begitu dari kisah seluruh orang tua yang pernah saya baca dan ketahui saya ingin belajar untuk menghargai orang tua terlepas rasa sedih yang akan saya terima. Saya ingin nantinya dipertemukan dengan pasangan yang juga siap dengan keadaan yang sama. Yang mencintai orang tuanya tanpa ekspektasi apa-apa. Tetap punya pemikiran yang merdeka untuk bersepakat dan mencari jalan tengah atas kecewa-kecewa dari orang tua yang akan datang kapan saja. Dengan begitu bisa sama-sama saling menyikapi secara dewasa apapun masalahnya, berani jujur bahwa kitapun pernah terluka oleh masing-masing orang tua atas tuntutan mereka dan masing-masing pihak juga boleh merasakan hal yang sama, tapi bisa saling mengingatkan bahwa itu semata-mata karena cinta kasih orang tua pada anaknya. Bahwa barangkali ada rasa percaya dari orang tua yang belum sepenuhnya yang harus diperjuangkan secara utuh, bersama-bersama. Tidak mengapa, sebab percaya pada orang yang pernah asing tidak pernah mudah dan harus terus dibuktikan bagaimanapun caranya. Begitulah seharusnya rasa sayang ditunjukkan dengan pembuktian-pembuktian yang tak ada habisnya. Sebab kita manusia adalah makhluk yang telah bertumbuh dari tumpukan-tumpukan masalah juga derasnya air mata, yang rentan terluka, tidak mudah percaya dan berprasangka. Untuk itulah rasa sayang harus melibatkan Pencipta, Pemilik Hati semua manusia yang sesungguhnya.
Semoga, kita semua adalah orang-orang yang Allah anugerahkan nikmat tak akan kehabiskan kasih sayang dari manusia-manusia lainnya. Entah orang tua, entah teman hidup yang membersamai kita sampai tua dan tutup usia.